Tari Bedhaya Yogyakarta : Tari Tradisional Yogyakarta yang Mempunyai Makna Simbolik Filosofis Yang Tinggi



Tari Bedhaya Yogyakarta
Tari Bedhaya merupakan tari klasik yang sangat tua usianya dan merupakan kesenian asli Jawa.  
Tari Bedhaya yang tertua adalah Bedhaya Semang yang diciptakan oleh Hamengku Buwono I pada tahun 1759, dengan cerita perkawinan Sultan Agung dari Mataram dengan Ratu Kidul yang berkuasa di samudera Indonesia.

Sebagai sebuah genre tari, spesifikasi Bedhaya antara lain :
1.     Penari putri yang pada umumnya berjumlah sembilan dan mempergunakan rias busana yang serba kembar.
2.     Bedhaya sebagai salah satu genre tari Jawa, telah dijadikan sumber referensi dalam penyusunan
3.     Tari Bedhaya memiliki muatan makna simbolik dan filosofis yang tinggi dan dalam, sehingga menjadi contoh yang paling tepat bagi cara penerapan konsep alus-kasar dalam tari Jawa.


Tari Bedhaya mempunyai makna simbolik filosofis yang begitu tinggi, menyebabkan genre tari ini senantiasa ditempatkan sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling penting di kasultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta.

Tarian ini bahkan dianggap sebagai salah satu atribut sang raja, yang berfungsi sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan dan kewibawaan para sultan atau sunan.

Bedhaya dan benda-benda dengan kekuatan magis yang terkandung di dalamnya, berfungsi sebagai pusaka kerajaan, yang senantiasa turut memperkokoh maupun memberi perlindungan, ketenteraman, kesejahteraan kepada raja beserta seluruh kawulanya.

Tari Bedhaya mengalami perkembangan, walaupun begitu tetap mempunyai makna simbolik filosofis yang tinggi. 
Perkembangan tari Bedhaya dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :

1.     Penari yang membawakan tarian Bedhaya
Dahulu yang boleh membawakan tari Bedhaya hanya para sentana dalem (anak cucu raja), namun sekarang setelah mengalami perkembangan, dapat pula ditarikan oleh siapapun yang berminat dan mampu melakukannya.  
Pihak keraton bersedia menerima pihak-pihak luar keraton yang ingin belajar dan mendalami tari Bedhaya.

2.     Penyempitan waktu penampilan sebuah tari Bedhaya
Waktu yang diperlukan untuk menarikan sebuah tari Bedhaya (tari Bedhaya Semang) pada jaman dahulu adalah kurang lebih 3 jam. 
Sekarang setelah dilakukan pengemasan, maka waktu yang dibutuhkan 1 jam sampai 11/2 jam. 
Tanpa merubah kaidah-kaidah tari serta makna simbolik filosofisnya.

3.     Latar belakang cerita tari Bedhaya
Cerita yang diambil dalam penciptaan tari Bedhaya mengalami perkembangan, yang semula bersumber pada pernikahan sang raja dengan Ratu Kidul berkembang pada cerita babad, sejarah, epos Mahabarata ataupun epos Ramayana.

4. Syarat-syarat khusus penari Bedhaya
Penari tari Bedhaya  dulunya harus masih gadis, berpuasa dan dalam keadaan suci (tidak sedang datang bulan). 
Sekarang ketentuan tersebut tidak seketat itu meskipun masih juga dilakukan apabila tarian tersebut untuk penobatan raja dan dilakukan di dalam keraton.

Tari Bedhaya

A. Macam-Macam Tari Bedhaya
1.     Bedhaya Ketawang
Bedhaya Ketawang dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratu diantara seluruh mahluk halus. 
Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang ratu selalu hadir juga serta ikut menari.

Tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. 
Jadi tarian ini hanya sekali setahun dipergelarkan. 
Selama tarian berlangsung tidak ada hidangan keluar, juga tidak dibenarkan orang merokok. 
Makanan, minuman atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalannya upacara adat yang suci ini.

2.     Bedhaya Semang
Menurut Babad Nitik, Bedhaya adalah gubahan Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan nama semang (Bedhaya semang) diberikan oleh Sultan Agung.  
Tari bedhaya semang tersebut dipagelarkan untuk kepentingan ritual istana, seperti peristiwa jumenengan.

Berdasarkan tradisi yang telah ada, jumlah penari bedhaya terdiri dari sembilan orang. Penari Bedhaya tersebut mendapatkan status sebegai pegawai Kraton dengan sebutan abdi dalem Bedhaya.

Penari Bedhaya semang yang berjumlah sembilan orang terdiri dari : batak, endhel, jangga (gulu), apit ngajeng, apet wingking, dhadha, endhel wedalam ngajeng, endhel wedalan wingking dan buntil.

Jumlah penari sembilan orang dipahami sebagai lambang arah mata angin, arah kedudukan bintang-bintang (planet-planet) dalam kehidupan alam semesta, dan lambang lubang hawa sebagai kelengkapan jasmaniah manusia (babadan hawa sanga), yakni dua lubang hidung, dua lubang mata, dua lubang telinga, satu lubang kemaluan. Satu lubang mulut dan satu lubang dubur.


3.     Bedhaya Sabda Aji
Ditarikan oleh sembilan orang, bercerita tentang sabda (perintah) aji (raja) atau perintah Sri Sultan HB IX kepada para empu tari untuk menyempurnakan tari golek menak.

4.     Bedhaya Angron Sekar
Bedhaya Angron Sekar merupakan karya dari K.R.T. Sasmintadipura. Cerita dalam bedhaya ini adalah Sutawijaya yang menaklukan Arya Penangsang. 
Istri Arya Penangsang, Angron Sekar, yang tahu kalau pasangannya ditaklukkan Sutawijya bermaksud balas dendam. 
Namun akhirnya justru Angron Sekar jatuh cinta terhadap Sutawijaya.

5.     Bedhaya Herjuna Wiwaha
Bedhaya ini menceritakan proses pengangkatan KGPH Mangkubumi menjadi Sri Sultan HB X

6.     Bedhaya Sumreg
Bedhaya Sumreg atau Sumbreg merupakan salah satu "bedhaya pusaka" milik Kraton Yogyakarta. 
Bedhaya Sumreg ini memiliki arti sebagai bidadari yang menari dengan iringan gending ageng Ladrang dan Ketawang.

Pesan yang disampaikan oleh Bedhaya ini adalah agar kehidupan manusia di bumi kembali saling menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan dengan berlandaskan hubungan kekeluargaan, berbudaya, dan beragama.

7.     Bedhaya Sang Amurwabhumi
Bedhaya Sang Amurwabhumi ditarikan oleh sembilan putri (penari) dan berdurasi dua setengah (2,5 ) jam, diiringi irama dramatik yang menggambarkan kelembutan sebagai simbolisasi yang paling hakiki, karena setiap raja selalu mempunyai ekspresi dan konsep sendiri dalam setiap pengabdian kepada rakyatnya dengan mencoba menggalang kepemimpinan yang baik, melalui pola pikir untuk mengayomi dan mensejahterakan rakyat.

Bedhaya Sang Amurwabhumi seperti juga dengan bedhaya yang lain sesuai dengan tradisi tetap mengacu pada patokan baku tari bedhaya. 
Dasar ceritanya diambil dari Serat Pararaton atau Kitab Para Ratu Tumapel dan Majapahit, yang selesai ditulis bertepetan pada hari Sabtu Pahing.

8.     Bedhaya Pangkur
Seperti tarian bedhaya lainnya, gerakan tari bedhaya Pangkur juga mempunyai gerakan lembut dan mengalir dengan iringan gendhing Pangkur
Jumlah penarinya sembilan orang dengan jabatan dan nama yang berbeda-beda. Yaitu : batak, gulu, dhaha, endhel weton, endhel ajeg, apit ngarep, apit meneng, apit mburi dan buncit.

Kesembilan jabatan penari bedhaya Pangkur tersebut adalah manifestasi pengendali hawa nafsu manusia (babahan hawa sanga). 
Mengenai ricikan (instrumen) iringannya simpel, tidak seperti ricikan-ricikan tarian lainnya.

Karena hanya terdiri dari kemanak, kethuk, kenong, kendhang dan gong. Ditambah vokal sindhenan
Tari bedhaya Pangkur adalah tarian sakral yang menceritakan tentang keseimbangan hawa nafsu dan akal sehat manusia.


B. Nilai Busana Tari Bedhaya
Nilai estetis yang terkandung pada tata busana dan tata rias tari bedhaya terkait dengan karakter yang terdapat pada tari bedhaya. 
Artinya penari bedhaya semestinya dipilih berdasarkan kualitas kepenariannya, juga berkaitan dengan keserasian dan ketepatan seorang penari mengenakan dodot ageng dan rias paes ageng.

Hal ini penting karena tidak semua penari yang baik dan sesuai penari bedhaya bisa mengenakan busana dodot ageng dan rias paes ageng, karena ada persyaratan ketentuan fisik yang dapat memenuhi persyaratan keserasian dalam berbusana dodot ageng dan rias paes ageng



Sumber :


No comments:

Post a Comment